“Yono! Apa Kabar? “
“Baik-baik saja, Pak Pendeta“
“Sekarang tinggal di Majalaya, Pak Pendeta“
“Bekerja? “
“Ya, Pak. Habis, maklum deh. “
“Lalu? Sudah senang? “
“Kalau gajinya sih lumayan juga, Pak. “
“Lalu apanya lagi? “
“Ya, seenak-enaknya orang kerja, Pak, tentu masih lebih terhormat orang bersekolah. Saya sering merasa iri, bahkan tidak jarang rendah diri, melihat teman-teman yang masih bersekolah."
Pembaca yang kekasih.
Bahwa Yono punya tekad yang kuat untuk bersekolah, ini tentu apa salahnya. Tetapi pendapat bahwa bersekolah itu jauh lebih terhormat, pada hemat saya layak kita jadikan masalah.
Bahwa ada orang bercita-cita untuk sekolah setinggi-tingginya, ini mengang sudah semestinya. tetapi kalau misalnya terpaksa harus bekerja, benarkah ini namanya kegagalan semata-mata?
Kita perlu cemas, kalau semakin lama sekolah lebih merupakan sarana untuk mengejar prestise, daripada untuk mencapai prestasi. Seolah-olah martabat itu ditentukan oleh gelar atau kedudukan, dan bukan oleh karya apa yang dihasilkan.
Jikalau begitu, jadilah adegan-adegan berikut. yaitu seseorang yang lebih bangga berjalan kesana ke mari dengan menggunakan jaket mahasiswa, daripada tekun mengikuti kuliah.
Atau, seseorang yang rela membayar ratusan ribu rupiah untuk selembar ijazah, daripada mengusahakannya melalui kerja keras di kamar belajarnya.
Atau, seseorang yang memperkenalkan diri sebagai mahasiswa, sekalipun ia tak pernah kuliah lagi. Dan sementara itu ia bekerja sebagai seorang sopir taksi. Menurut pendapatnya, mahasiswa itu terhormat, dan menjadi sopir taksi itu sesungguhnya sedikit memalukan.
Apa yang mencemaskan adalah bila keadaan ini berlangsung terus, bisa-bisa suatu ketika masyrakat kita akan diisi oleh dua kelompok orang. Bisa pejabat, bisa teknokrat, yang berada di sana, bukan karena memang berbakat atau sesungguhnya berminat. Tetapi hanya karena kebetulan punya lebih banyak kemungkinan. Misalnya duit atau hubungan dengan orang dalam. Mereka yang sesungguhnya tidak menyenangi pekerjaannya, sebab hanya ingin menikmati kedudukannya. Mereka yang mau hak tapi enggan kewajiban. Karena itu, tidak banyak yang dapat diharapkan dari mereka. Kecuali pameran kepongahan, kekuasaan dan kemegahan.
Kelompok kedua, adalah kelompok orang-orang kurang terhormat. Misalnya saja sopir taksi, pekerja bengkel atau buruh pabrik. Mereka yang berada di sana, juga bukan karena bakat dan minat, tetapi karena sekedar terpaksa. Daripada tidak bekerja. Mereka yang sesungguhnya juga tidak menyenangi pekerjaannya. Tetapi apa boleh buat, ia toh perlu nafkah untuk menghidupi keluarganya. Karena itu, bagaimana kita dapat mengharapkan hasil pekerjaannya, semntara kesukaan kerja saja mereka tidak punya?
Pembaca yang kekasih.
Saya lalu teringat akan cerita M.W. Brouwer, yaitu tentang Honda. Bukan tentang sepeda-sepeda motor yang sedang dijual dengan harga kredit yang istimewa. Tetapi tentang pemiliknya dan pendirinya, orang kaya di negeri Jepang. Pada suatu hari, Pak Honda menerima telepon dari istana. Bahwa maharaja berkenan meninjau pabriknya yang ternama itu. Tentu siapa yang tak gembira? Tetapi Pak Honda ini mengajukan sebuah permintaan. Supaya ia diperkenankan menyambut sang maharaja dengan mengenakan pakaian kerja.
Bukan dengan maksud mau menghina, tetapi justru karena hormat yang tulus ikhlas. Karena bagi Pak Honda, pakaian kehormatannya bukan jas berdasi yang rapi, tetapi justru setelan bengkelnya itulah. Pakaian kerjanya itulah yang menjadikan ia menjadi Honda, bukan karena ia kebetulan mempunyai kursi di kamar direksi. Bukan jabatannya yang mengangkat ia ke atas sehingga dikagumi oleh sang mahraja, tetapi kerja kerasnya mulai dari tingkat yang bawah sekali.
Saya lalu teringat kepada beberapa tokoh Alkitab. Tentang Saul dan Daud, misalnya, yang adalah para gembala sederhana pada mulanya, sbelum diangkat menjadi raja diraja umat pilihan Allah. Atau tentang Yesus, yang puluhan tahun hidup di desa miskin sebagai pembantu ayahNya yang seorang tukang kayu. Atau Paulus, pekabar Injil kelas satu, yang toh masih bekerja sebagai pembuat kemah untuk nafkahnya. Atau Petrus yang konon kepala gereja, yang adalah nelayan kecil pada mulanya.
Alkitab tanpa tedeng aling-aling membuka riwayat hidup para tokoh terkenal itu. Bagi Alkitab tak ada yang memalukan dari riwayat hidup mereka semua. Dan toh kenyataanya adalah Yesus tidak lalu jadi kurang terhormat karena Ia bekas tukang kayu yang lahirnya pun di sebuah kandang. Bahwa Paulus justru merasa lebih terhormat, bukan ketika ia menerima semua fasilitas dari jemaat-jemaat yang dibangunnya, tetapi justru karena ia dapat mencukupi kebutuhannya sendiri, meskipun hanya sebagai seorang tukan membuat kemah.
Sekarang memang adalah zaman pembangunan. Dan salah satu ciri dari sebuah bangsa yang membangun adalah, kalau bangsa itu bisa lebih menghargai pakaian kerja daripada pakaian jenderal, pakaian ulama, jaket mahasiswa ataupun pakaian-pakaian upacara kaum praiyayi.
· Yang membuat kita terhormat itu, bukanlah pekerjaan apa yang kita pegang tetapi bagaimana caranya kita memegang sebuah pekerjaan. Bahwa seorang penyapu jalan yang tekun dan setia, lebih pantas menerima hormat kita daripada seorang pejabat yang menjual tanda tangannya untuk sekian ratus ribu rupiah.
· Kerja itu bukanlah akibat dari hukuman dosa, tetapi adalah baigan mutlak harkat dan hakikat kita sebagai manusia. Karena itu kita dapat menghormati mereka yang menganggur karena terpaksa, tetapi tidak untuk para penganggur terhormat yang menganggur denagn sengaja, karena malas atau malu untuk bekerja.