Langsung ke konten utama

Risiko

Mau makan nangka? Baiklah anda berhati-hati, jangan-jangan terkena getahnya! itulah sikap hidup manusia. Mau enaknyas saja, tapi tak mau getahnya. Mau enaknya, enggan susahnya. Mau hasilnya, jangan risikonya.

Tetapi dalam hidup ini, saudaraku, untuk mencapai yang besar dan berharga tidak jarang menuntut risiko! Seorang ibu yang ingin menyelamatkan nyawa anaknya, kalau perlu harus menerjang api atau menempuh ombak, dengan risiko kehilangan nyawanya sendiri. Itu bila nyawa sang anak memang begitu berharga.

Hidup yang tidak pernah berani nyerempet-nyerempet bahaya, hidup yang tak pernah bersedia memikul risiko, akan menjadi hidup yang statis beku, begitu-begitu saja. Hidup yang aman barangkali, tapi pasti tanpa arti.

Begitu pulalah dengan iman kita. Apakah iman itu sesuatu yang berharga bagi kita, tergantunglah pada sampai sejauh mana pemiliknya berani menempuh risiko demi imannya. Bahkan, apakah seseorang itu mempunyai iman yang benar, ataukah sekadar "iman", itu juga ditentukan dari sikap apakah yang diambilnya ketika ia harus berhadapan dengan risiko.

Petrus pernah kita kenal sebagai orang yang amat beriman. Iman dalam perkataan dan perbuatan! Di Kaisarea Filipi, Petruslah yang pertama-tama mencanangkan sebuah pengakuan yang historis, "Yesus itulah Tuhan! Anak Allah yang hidup!" Di Getsemane, Petruslah yang menghunus pedang membela gurunya yang mau ditangkap.

Lalu ketika Yesus ditangkap. Murid-murid-Nya bersembunyi melarikan diri. Tetapi Petrus tidak. Ia mengikuti Yesus. Jago, bukan? Tentu! Tapi Matius membubuhkan catatan yang penting. Petrus memang mengikuti Yesus, tetapi , mengikutiNya dari jauh. Petrus mengikuti Yesus, tetapi dari jarak yang tidak terlalu membawa risiko. Petrus mengikuti Yesus, tetapi sambil siap-siap lari menyelamatkan diri. Begitulah kenyataannya. Iman yang aktif dalam kata dan fakta, belum menjamin dirinya sebagai iman yang sesungguhnya. Paling tidak, sampai ketika risiko wajib dipilih.

Dan apa akibatnya atau buahnya iman yang tidak mau risiko itu? Ooo, tidak usah menunggu sampai dua puluh empat jam. Tidak perlu pula melihatnya setelah jarak sekian kilometer. Malam itu juga, dan di tempat itu juga, "iman" Petrus menampakkan hasilnya.

Petrus menyangkal Yesus tiga kali! Ya, ia yang pernah dengan lantang berkata, Yesus itu Tuhan, Anak Allah yang hidup, kini dengan tak kurang lantangnya ia berteriak, "Berani sumpah, aku tak kenal Orang itu!" Petrus yang pernah dengan perkasa menetak telinga Malchus dengan pedangnya di taman Getsemane, kini hatinya bisa menjadi ciut hanya ketika ia harus menghadapi tudingan tangan seorang anak perempuan. Itulah sebuah contoh, betapa iman yang tidak berani risiko itu, begitu dekat dan cepat melahirkan pengkhianatan.


Padahal di Golgota itulah, dipertentangkan dengan jelas dua macam sikap terhadap risiko. Pada satu pihak, berdirilah Yesus - sendirian - tergantung di atas kayu salib, menandai betapa risiko yang rela dipikul-Nya demi misi kasih-Nya kepada manusia. Risiko dibenci, risiko sendirian, risiko hidup tanpa fasilitas dan sekuritas, bahkan risiko mati dihukum sebagai penjahat besar.

Dan di lereng bukit itu, seolah-olah bersatulah semua umat manusia yang bersikap tidak berani ambil risiko. Salib Yesus adalah bekas tangan Pilatus, seorang pejabat yang tahu keadilan tetapi tak berani mengambil risiko kehilangan kursi jabatan. Salib Yesus adalah bekas tangan para ulama, yang satu kebenaran, tetapi tak berani ambil risiko kehilangan status sosial. Salib Yesus adalah bekas tangan murid-murid-Nya, yang tahu mana keselamatan sejati, tetapi tak berani ambil risiko kehilangan keselamatan diri.

Dunia ini memang dipenuhi oleh tipe-tipe manusia seperti itu. Di mana saja dan kapan saja. Juga di sini dan sekarang ini. Tetapi syukurlah, perubahan dan perkembangan sejarah justru tidak ditentukan oleh orang-orang macam Pilatus dan Kayafas. Tetapi oleh orang-orang semacam Yesus, yang berani sendirian menempuh arus pandangan massa maupun penguasa, demi kebenaran yang diyakini dan di hayati.

Orang-orang yang berani mengambil risiko demi kebenaran yang diyakini, tidak jarang harus mati ngenas. Baik itu Gandhi, atau Marthin Luther King, atau Kennedy. Tetapi apa boleh buat. Setiap orang mau menjadikan hidupnya sebagai berguna, ia harus rela - kalau perlu- mati dengan berguna. Malah cuma seperti daun kering yang gugur dari tangkainya, tapi jadilah kematiannya itu pupuk yang menyuburkan.

Dari peristiwa salib itu, bukan saja dasar keaiban manusia yang paling dasar disingkapkan, tetapi juga dari sana pengampunan ditawarkan. Juga bagi Petrus. Yesus memanggilnya kembali. Supaya kokok ayam jantan tidak usah lagi membuatnya dikejar rasa sesal tiap pagi.

Pengampunan dan panggilan Yesus itu, dijawab oleh Petrus dengan satu pertobatan. Tetapi apa lagi arti pertobatan itu, kecuali bahwa sejak saat itu Petrus memperbaharui pengikutnya dengan menyandang semua risiko di atas bahunya sampai akhir hayatnya.

Salib Kristus memperingatkan kita untuk menilai ulang penghayatan iman kita terhadap-Nya. Mudah-mudahan kita sempat menangis seperti Petrus. Sebab kalau begitu, salib berarti juga pengampunan, yang mesti kita lanjutkan dengan perttobatan yang nyata.

Sebab kalau tidak begitu, maka tangis penyesalannya dengan bunuh diri. Tetapi paling tidak, Yudas Iskariot masih lebih unggul daripada orang yang tak punya penyesalan apa-apa, bukan?








Risiko - Pdt. Eka Darmaputera

Postingan populer dari blog ini

Natal - Dewa Matahari - Kristus - Sol Invictus

Tuduhan seperti ini sering dilancarkan untuk menuduh bahwa kristen itu aslinya adalah pagan. Mari kita lihat. Tuduhan ini adalah salah satu favorit serangan dari Polemis Yahudi dan Islam. Pada tahun 336 gereja di Roma menyatakan bahwa 25 Desember sebagai Dies Natalis Christi, "ulang tahun Kristus." Tulisan dalam Kronograf 354, atau Kalender Philocalian, mencatat, "Tuhan kita Yesus Kristus lahir pada hari kedelapan pada bulan sebelum Januari" , atau 25 Desember. Hal ini tidak menyatakan bahwa perayaan Natal sedang dicari tahu waktu tepatnya pada tanggal tersebut, tetapi kita cukup yakin bahwa penelitian mengenai Natal, dimulai di Roma sekitar waktu ini. "Perayaan Natal merupakan acara penginjilan yang efektif untuk mengubah hati dan pikiran orang-orang kepada Kristus dan jauh dari pemujaan Sol." St. Yohanes Krisostomos Satu generasi setelah kronograf itu diterbitkan, bapa gereja Yohanes Krisostomos (c. 347-407) menulis bahwa Rom...

Dikuduskanlah Nama-Mu?

Pada zaman edan seperti saat ini, sudah tidak ada lagi yang kudus. Semuanya sudah dekil, kotor, dan tercemar – walaupun dibilas dengan Rinso Antinoda. Sudah tidak ada lagi orang yang bisa kita hormati, walaupun seharian penuh kita sibuk dan berusaha memoles nama kita agar bisa dihormati dan dimuliakan orang-orang di sekitar kita. Oleh sebab itu, percuma kita ngoceh pulihan kali sehari “Dikuduskanlah Nama-Mu” sampai tuh mulut berbuih. Karena boro-boro bisa menghayatinya, nyaho juga kagak maknanya! Sebenarnya dengan doa yang terdiri dari 2 kata saja, “Dikuduskanlah Nama-Mu”, sudah komplit dan sudah mencakup segala-galanya; karena doa itu tidak perlu bertele-tele dengan kata yang berbunga-bunga agar orang-orang di sekitar kita bilang, “Hebat oooo…oi!” Dikuduskanlah Nama-Mu , itu sebenarnya bukan suatu permohonan, karena nama Allah itu sudah kudus dari sononya. Ucapan tersebut adalah suatu pernyataan, suatu komitmen untuk memuliakan nama Dia. Dalam dua kata itu sudah tercakup semua: ...

Ujian Telah Selesai

“Yono! Apa Kabar? “ “Baik-baik saja, Pak Pendeta“ “Sekarang tinggal di Majalaya, Pak Pendeta“ “Bekerja? “ “Ya, Pak. Habis, maklum deh. “ “Lalu? Sudah senang? “ “Kalau gajinya sih lumayan juga, Pak. “ “Lalu apanya lagi? “ “Ya, seenak-enaknya orang kerja, Pak, tentu masih lebih terhormat orang bersekolah. Saya sering merasa iri, bahkan tidak jarang rendah diri, melihat teman-teman yang masih bersekolah." Pembaca yang kekasih . Bahwa Yono punya tekad yang kuat untuk bersekolah, ini tentu apa salahnya. Tetapi pendapat bahwa bersekolah itu jauh lebih terhormat, pada hemat saya layak kita jadikan masalah. Bahwa ada orang bercita-cita untuk sekolah setinggi-tingginya, ini mengang sudah semestinya. tetapi kalau misalnya terpaksa harus bekerja, benarkah ini namanya kegagalan semata-mata? Kita perlu cemas, kalau semakin lama sekolah lebih merupakan sarana untuk mengejar prestise, daripada untuk mencapai prestasi. Seolah-olah martabat itu ditentukan oleh gelar atau kedudukan, dan bukan ole...