Langsung ke konten utama

A Line of Mother's Prayer


This morning, like usual, we sit closely, pray. Today, my mother led the Morning Prayer, in her mother tongue of course. I’m not listening the prayer, quite annoyed because I have to take my sisters, both, to their schools. In the middle prayer, these words caught my attention;

….send Your peace to his mind, my only son. Send him your Lordly peace….

I NEVER told my mother about my mind, about what I’ve feels! I always act as usual as I can, whatever comes to my mind, no difference of behaving, but why my mother knows? How she draws them out? She knows my work in comparative field of religions? Or maybe she realized when she knows that I spent my night, previous night, in a religious bookstore, begging her for an Arabic gospel?

Sometimes I feel a lot of burden placed on my head, maybe I’m too young to know and realize deeply in these differences (read: oppositions), I can’t ignore these differences for the sake of “peace”. Knowing the different path, difference is not really saddens me, opposite paths, going to end different. Why these faiths should opposed each other. The truth deviated, knowing the deviators. Maybe this song lyric could figure my mind.

Take what you will, what you will
And leave. Could you kill, could you kill me
If the world was on fire 
and nothing was left but hope or desire 
And take all that I could bring forth, is this hell
Or am I on the floor over-desperate? 
Hold hands streaming of blood again?
And then take full weight of me 
Guard my dreams, figure this out, 
It's me on my own. Helpless, hurting, hell
Will you stay strong as you promised?
Cause I'm stranded and bare.
Meanness is washed up in all that I am is God. Take this and all,
Then grace takes me to a place 
Of the father you never had 
Ripping and breaking and tearing apart 
This is not heaven
This is my hell.
                                                          anberlin - *fin

These words spoken in my mother prayer in May 6th morning, I’ll never forget. I love you mom. I had the peace, the LORD peace. Thanks for the prayer.



Postingan populer dari blog ini

Natal - Dewa Matahari - Kristus - Sol Invictus

Tuduhan seperti ini sering dilancarkan untuk menuduh bahwa kristen itu aslinya adalah pagan. Mari kita lihat. Tuduhan ini adalah salah satu favorit serangan dari Polemis Yahudi dan Islam. Pada tahun 336 gereja di Roma menyatakan bahwa 25 Desember sebagai Dies Natalis Christi, "ulang tahun Kristus." Tulisan dalam Kronograf 354, atau Kalender Philocalian, mencatat, "Tuhan kita Yesus Kristus lahir pada hari kedelapan pada bulan sebelum Januari" , atau 25 Desember. Hal ini tidak menyatakan bahwa perayaan Natal sedang dicari tahu waktu tepatnya pada tanggal tersebut, tetapi kita cukup yakin bahwa penelitian mengenai Natal, dimulai di Roma sekitar waktu ini. "Perayaan Natal merupakan acara penginjilan yang efektif untuk mengubah hati dan pikiran orang-orang kepada Kristus dan jauh dari pemujaan Sol." St. Yohanes Krisostomos Satu generasi setelah kronograf itu diterbitkan, bapa gereja Yohanes Krisostomos (c. 347-407) menulis bahwa Rom...

Dikuduskanlah Nama-Mu?

Pada zaman edan seperti saat ini, sudah tidak ada lagi yang kudus. Semuanya sudah dekil, kotor, dan tercemar – walaupun dibilas dengan Rinso Antinoda. Sudah tidak ada lagi orang yang bisa kita hormati, walaupun seharian penuh kita sibuk dan berusaha memoles nama kita agar bisa dihormati dan dimuliakan orang-orang di sekitar kita. Oleh sebab itu, percuma kita ngoceh pulihan kali sehari “Dikuduskanlah Nama-Mu” sampai tuh mulut berbuih. Karena boro-boro bisa menghayatinya, nyaho juga kagak maknanya! Sebenarnya dengan doa yang terdiri dari 2 kata saja, “Dikuduskanlah Nama-Mu”, sudah komplit dan sudah mencakup segala-galanya; karena doa itu tidak perlu bertele-tele dengan kata yang berbunga-bunga agar orang-orang di sekitar kita bilang, “Hebat oooo…oi!” Dikuduskanlah Nama-Mu , itu sebenarnya bukan suatu permohonan, karena nama Allah itu sudah kudus dari sononya. Ucapan tersebut adalah suatu pernyataan, suatu komitmen untuk memuliakan nama Dia. Dalam dua kata itu sudah tercakup semua: ...

Ujian Telah Selesai

“Yono! Apa Kabar? “ “Baik-baik saja, Pak Pendeta“ “Sekarang tinggal di Majalaya, Pak Pendeta“ “Bekerja? “ “Ya, Pak. Habis, maklum deh. “ “Lalu? Sudah senang? “ “Kalau gajinya sih lumayan juga, Pak. “ “Lalu apanya lagi? “ “Ya, seenak-enaknya orang kerja, Pak, tentu masih lebih terhormat orang bersekolah. Saya sering merasa iri, bahkan tidak jarang rendah diri, melihat teman-teman yang masih bersekolah." Pembaca yang kekasih . Bahwa Yono punya tekad yang kuat untuk bersekolah, ini tentu apa salahnya. Tetapi pendapat bahwa bersekolah itu jauh lebih terhormat, pada hemat saya layak kita jadikan masalah. Bahwa ada orang bercita-cita untuk sekolah setinggi-tingginya, ini mengang sudah semestinya. tetapi kalau misalnya terpaksa harus bekerja, benarkah ini namanya kegagalan semata-mata? Kita perlu cemas, kalau semakin lama sekolah lebih merupakan sarana untuk mengejar prestise, daripada untuk mencapai prestasi. Seolah-olah martabat itu ditentukan oleh gelar atau kedudukan, dan bukan ole...